Jumat, 10 Oktober 2014

FENOMENA JILBOOBS Bagian 2

Kesempatan kali ini, sya tidak berpanjang lebar dg pendapat saya sendiri, tetapi melanjutkan mengutip tulisan dari teman saya, yang pernah saya janjikan. Ini curhatan hatinya :D
Tolong dibaca seksama, mengharukan bagi saya walopun panjang isinya :'(
Tapi mudah2an klop lah dg hati kita...terutama bagi ibu2 yang bersuami, atau yang memiliki anak wanita remaja, atau anak lelaki, atau yg masih jomblo (maksudnya blum nikah bukannya blum pacaran yaa) :D


Pria Punya Curhatan (klo judul dari sya)

"Soal jilboobs (berjilbab pakean ketat/tipis) ini memang menggelitik. Saya sendiri di dalam dilema yang besar. Alasannya, pertama karena saya laki-laki. Kedua, karena saya belum pernah memakainya.
Sebagai orang berpendidikan, saya khawatir perspektif saya terhadap ini menjadi sangat subyektif, dipenuh
asumsi, dan ngawur.
Tapi sebenarnya saya selalu ingin mengajukan pertanyaan kepada setiap penggunanya di area publik demi mendapat sudut pandang yang obyektif
dari si pemakai agar saya tidak salah sangka:
1. "Mbak-mbak, boleh tau apakah dengan berjilboobs itu, saya atau kami boleh menikmati kemolekan lekuk2 mbak itu?"
2. "Kalau boleh, apakah mbak memang sengaja agar kami melihatnya? atau malah risih kalau kami melihatnya?"
3. "Atau tolong jelaskan kepada kami, bagaimana seharusnya kami boleh menikmatinya biar mbak merasa nyaman dan kita bisa sama-sama menikmati, agar
saya merasa aman dalam menikmati, dan mbaknya nikmat juga dilihati?"
Pertanyaan ini sebenarnya penting untuk ditanyakan sebagai dasar ilmiah untuk mengambil kesimpulan, tapi belum
kesampaian saya tanyakan sampai saat ini. Malu nanyanya.
Dan saya memilih untuk menikmati pemandangan tersebut dengan
diam-diam, dengan "etika" yang saya karang sendiri agar tidak berdampak sosial yang buruk.
Ada yang bilang ini soal iman. Kalau iman kuat, jilboob lewat. Saya kira setiap orang beriman yang jujur, kalau ditanya pasti menjawab akan timbul pikiran bukan- bukan ketika menjumpai perempuan muda berbadan indah memakai jilbab dan pakean ketat lagi tipis di tempat umum.
Tidak usah jauh-jauh, saya sendiri akan mengaku beriman, sholat tidak pernah lewat, kadang-kadang juga ngaji, tapi
"ketat is ketat", daya tariknya sungguh sering melewati daya tangkal iman.
Kalau ada yang bilang "Pikiran situ saja
yang jorok", duh, ingin sekali saya jawab "Saya sudah susah payah membersihkan pikiran dari yang nggak-nggak, tapi
situ lewat sambil menjorok-jorokkan lekuk badan bak kue lepet …. memaksa
untuk dilihat". Soal hak, semua memang punya hak masing-masing.
Selama masih berada di tempatnya, hak menjadi sesuatu yang aman bagi dirinya maupun orang lain.
Contohnya merokok. Saya yakin itu adalah hak. Tidak seorangpun kecuali keluarga dan orang-orang yang bergantung hidupnya pada perokok boleh melarang orang untuk merokok. Tetapi ketika merokok di tempat umum, hak itu jadi tidak aman untuk orang lain. "Tolong ya mas, merokoknya di ruang merokok, atau menggunakan helm full face saja biar asapnya tidak terhirup oleh saya". Gimana kalau perokok menjawab, "Ya situ saja jangan hirup asap saya kalau memang tidak suka bau asap". Kira-kira Anda mau langsung mengajak adu hantam tidak? Mamainkan musik adalah hak. Tetapi ketika bertetangga, genjrang-genjreng di jam dua pagi di depan rumah orang, kira-kira akan membuat tidur orang terganggu
tidak? Gimana kalau ketika ditegur si penggitar menjawab "Tolong ya Bu, kalau memang tidak suka dengan suara gitar
saya, ibu jangan dengerin suaranya, gitar- gitar saya kok ibu yang repot". Kira-kira si ibu akan melempar sandal atau tidak? Kalau bermainnya di dalam kamarnya sendiri, di studio musik kedap suara, saya kira volume sebesar apapun tidak akan jadi masalah. Minimal tidak jadi masalah untuk orang lain.
Sama jadinya dengan jilboob dan dresshot lainnya. Di rumah akan menjadi sangat asik. Aman, dan nyaman buat semuanya.
Apalagi di kamar, tidak pakai pun akan semakin menambah suasana jadi lebih sesuatu banget Dan, semua orang akan merasa happy dan dijamin aman. Tapi di
boncengan sepeda motor, di busway, di KRL, di jalanan… duuuh biyung, please mbak, bu, kalau sekadar saya yang lihat
dijamin akan aman. Karena nafsu dan pikiran saya akan saya manage sedemikian rupa sehingga akan hanya
meledak tanpa melukai Anda.
Tapi kalau yang nafsunya meledak itu lelaki yang sedang sakit parah jiwanya dan tak tau tempat? Peleceh tampilan kemolekan lekuk badanmu adalah orang yang sedang sakit jiwanya. Dan kata orang tua, mencegah lebih mudah dan murah dari pada mengobati.
Mengobati mereka tetap harus dilakukan karena bisa membahayakan orang lain, berapapun biaya material dan sosial yang dibutuhkan, termasuk kita memberi makan mereka di penjara seumur hidup. Tapi sambil mengobati, akan lebih cerdas, mudah, dan murah kalau kita semua juga
ikut mencegah, salah satunya dengan tidak memilih jilboob. Masih banyak pilihan busana yang lain, yang tetap menarik (tanpa menggoda) dan pantas.
Cara ini pasti lebih murah sebelum ada yang menjadi korban lelaki sakit jiwa. Kecuali, kalau memang jilboob telah
menjadi sumber penghasilan pengenanya. Mbak-mbak, ibu-ibu. Sebagai lelaki, saya selalu mengagumi perempuan. Dalam teori saya, perempuan itu setiap inchi kulitnya adalah fashion. Karena itu, benang dililit-lilit pun ke beberapa
bagian tubuh, sudah seperti keindahan yang menyeluruh. Perempuan juga sangat ekspresif. Mereka suka bicara, suka
berdandan, suka "menunjukkan" keindahan dirinya. Itu memang kodratnya. Dan sedikit ini komentar lelaki. Kami- kami ini juga sangat ekspresif. Tapi berbeda caranya dengan perempuan.
Kami tidak terlalu suka bicara, suka berdandan, menunjukkan keindahan diri sendiri. Tapi langsung bertindak. Sebagian yang lain, ekspresinya malah tidak terlihat sama sekali. Tetapi sesuatu di balik celananyalah yang langsung bereaksi. Maka, seperti Bang Napi bilang,
kejahatan terjadi bisa bukan karena niat pelakunya, tetapi ketika ada kesempatan.

Semoga kita semua aman dan selamat. di manapun berada."

(oleh ZSR)

sungguh .... sungguh ter-la-lu (bang Oma)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar