Selasa, 04 November 2014

SELF DISCIPLINE | DISIPLIN PADA DIRI SENDIRI | PENDIDIKAN ANAK | MENTAL JUARA | PSIKOLOGI | ENTREPRENEUR Bagian 3 Habis



Ini yang kemarin dan mungkin masih saja ramai dibicarakan. Saya tidak bermaksud membela tapi kebiasaan yg dianggap khalayak ramai kurang positif (merokok) sudah diusahakan dikuranginya, smoga kebenaran hakiki menghinggapinya. amin..

Sosok ketiga yg ditulis oleh Prof. dari UI ini adalah Bu Susi. Ya, bliau yang menjabat sebagai Menteri Kelautan kita saat ini.

Metakognisi Susi
Sekarang kita bahas menteri kelautan dan perikanan yang ramai diolok-olok karena "sekolahnya". Beruntung,
banyak juga yang membelanya.
Khusus terhadap Susi, saya bukanlah mentornya. Ia
terlalu hebat. Ia justru sering saya undang memberi kuliah. Dia adalah "self driver" sejati, yang bukan putus sekolah, melainkan berhenti secara sadar. Sampai di sini, saya ingin mengajak Anda merenung, adakah di antara kita yang punya kesadaran dan keberanian sekuat itu?
Akan tetapi, berbeda dengan kebanyakan orangtua yang membiarkan anaknya menjadi "passenger", ayah Susi justru marah besar.
Pada usia muda, di pesisir selatan yang terik, Susi memaksa hidup mandiri. Ditemani sopir, ia menyewa truk dari Pangandaran, membawa ikan dan udang, dilelang di Jakarta. Hal itu dijalaninya selama
bertahun-tahun, seorang diri.
Saat saya mengirim mahasiswa pergi "melihat pasar" keluar negeri yang terdiri dari tiga orang untuk satu negara, Susi membujuk saya agar cukup satu orang satu negara.
Saya menurutinya (kisah mereka bisa dibaca dalam buku 30 Paspor di Kelas Sang Profesor).
Dari usaha perikanannya itu, ia jadi mengerti penderitaan yang dialami nelayan. Ia juga belajar seluk-beluk logistik ikan, menjadi pengekspor, sampai terbentuk keinginan memiliki pesawat agar ikan
tangkapan nelayan bisa diekspor dalam bentuk hidup,
yang nilainya lebih tinggi.
Dari ikan, jadilah bisnis carter
pesawat, yang di bawahnya ada tempat penyimpanan
untuk membawa ikan segar.
Dari Susi, kita bisa belajar bahwa kehidupan tak bisa
hanya dibangun dari hal-hal kognitif semata yang hanya
bisa didapat dari bangku sekolah. Kita memang
membutuhkan matematika dan fisika untuk memecahkan
rahasia alam. Kita juga butuh ilmu-ilmu baru yang basisnya adalah kognisi. Akan tetapi, tanpa kemampuan nonkognisi, semua sia-sia.
Ilmu nonkognisi itu belakangan naik kelas, menjadi metakognisi: faktor pembentuk yang paling penting dibalik lahirnya ilmuwan-ilmuwan besar, wirausaha kelas dunia, dan praktisi-praktisi andal.
Kemampuan bergerak,
berinisiatif, self discipline, menahan diri, fokus, respek,
berhubungan baik dengan orang lain, tahu membedakan
kebenaran dengan pembenaran, mampu membuka dan mencari "pintu" adalah fondasi penting bagi pembaharuan, dan kehidupan yang produktif.
Manusia itu belajar untuk membuat diri dan bangsanya
tangguh, bijak mengatasi masalah, mampu mengambil
keputusan, bisa membuat kehidupan lebih produktif dan
penuh kedamaian. Kalau cuma bisa membuat keonaran dan adu pandai saja, kita belum tuntas mengurai persepsi, baru sekadar mampu mendengar, tetapi belum bisa menguji kebenaran dengan bijak dan
mengembangkannya ke dalam tindakan yang produktif.
Ketiga orang itu mungkin tak sehebat Anda yang senang
melihat kecerdasan orang dari pendekatan kognitif yang
bermuara pada angka, teori, ijazah, dan stereotyping.
Akan tetapi, saya harus mengatakan, studi-studi terbaru menemukan, ketidakmampuan meredam rasa tidak suka atau kecemburuan pada orang lain, kegemaran menyebarkan fitnah dan rasa benar sendiri, hanya akan menghasilkan kesombongan diri.

Anak-anak kita pada akhirnya belajar dari kita, dan apa
yang kita ucapkan dalam kesaharian kita juga akan
membentuk mereka, dan masa depan mereka.

Dikutip dari :
Prof Rhenald Kasali
Senin, 3 November 2014 (@Rhenald_Kasali)
KOMPAS.com

renungkan, pelajari, dan ambil hikmahnya. Semoga bermanfaat bagi saya pribadi, Anda, keluarga Anda, Anak-anak Anda, rekan2 bahkan kerabat dan orang sekitar Anda..Amin
Salam sukses

Tidak ada komentar:

Posting Komentar